Kamulah Sepasang Tangan-Ku | Yose Bataona
![]() |
(Sumber foto: @digamma) |
“Kamu janji, Gio?”
“Iya, Bu. Saya janji akan
berhenti merokok.”
“Kamu ini selalu ingkar
janji”, tukas Ibu Marta guru pengampu Biologi. “Semua nasihat dan sanksi kamu
langgar. Kapan kau akan bertobat, Nak? Begini saja, besok pagi orangtuamu harus
menghadap Pak Kepala Sekolah”..
“Aduh ee, Ibu boleh
hukum saya bersihkan selokan, sapu halaman atau pel lantai di setiap kelas, tapi
jangan panggil saya punya mama, apalagi bapa.”
“Kalau begitu Ibu akan
memberimu kesempatan terakhir”, kata Ibu Marta sambil menghembuskan napas
panjang. Kepalanya pusing akibat ulah Gio ini. Ia tahu kenakalan siswanya ini supaya
dianggap gaul, demi menutupi kesepiannya karena orangtuanya yang sangat sibuk
di perusahaan mereka.
(Para pembaca,
begitulah cuplikan singkat yang membuat Gio kini sedang berlutut di tengah lapangan
upacara. Tak lama kemudian lonceng pulang berdering. Para siswa berhamburan
keluar kelas. Mereka menertawakan dan mencibir Gio yang siang ini parkir di
bawah tiang bendera. Sementara Gio sendiri merasa sedikit beruntung, paling
tidak orangtuanya tak bakal datang ke sekolah. Kita kembali ke Ibu Marta. Perempuan
yang rambutnya mulai beruban ini keluar dari ruang guru menuju lapangan dengan
menjinjing tasnya yang bermotif tenunan Sikka.)
“Gio, berdiri sudah.
Apa lututmu sakit?”
“Iya, Bu. Sakit sekali.”
“Nak, rasa sakit itu tak
sebanding dengan sakit hati semua guru di tanah air ini karena murid-murid yang
kepala batu seperti dirimu. Sekarang kamu harus menerima hukuman yang
sesungguhnya.”
“Kira-kira hukumannya
apa, Bu?”
“Hukumannya kita makan
siang bersama. Tapi, tunggu Ibu menelepon Clara dulu.”
“Aduh, terima kasih
Ibu, kalau hukumannya begini indah biar saya merokok setiap hari, hahahae...”
“Astaga. Sebentar kamu
berlutut lagi, terus Clara suap dengan bara api, baru tahu rasa!”
“Maaf, Bu guru.”
“Lantas, bagaimana
persiapanmu untuk UN tahun ini?”
“Mantap, Bu. Jangan
khawatir, kalau di rumah saya tekun sekali belajar.”
“Iya. Ibu, selalu yakin
dengan belajarmu karena prestasimu yang gemilang. Pertahankan terus, Nak. Hanya
saja jangan merokok lagi. Rokok itu mengandung zat yang berbahaya bagimu,
seperti tar, karsinogen,
nikotin, iritan,
karbon monoksida, dan masih banyak lagi.
Akibatnya, konsentrasi belajarmu bisa terganggu dan kondisi kesehatanmu akan
menurun. Kamu akan jadi pecandu sejak masa mudamu dan menjelma pecundang di
masa tuamu nanti. Sebaiknya uang jajanmu itu didonasikan bagi anak-anak yang
tak seberuntung dirimu, Gio”, nasihat Ibu Marta.
“Syukurlah, Clara-ku tidak cerewet seperti ibundanya” keluh Gio sambil
meringis menahan tawa.
“Apa kamu bilang Gio?”
“Tidak, Bu. Bercanda saja, he-he-he...”
***
Setelah itu, keduanya
berjalan kaki keluar kompleks sekolah, kemudian naik bemo, lalu turun dan
lanjut berjalan kaki lagi. Gio membayangkan restoran, rumah makan atau warung
yang bisa mengganjal rasa lapar yang meliliti perutnya. Akhirnya, langkah
mereka berhenti di depan sebuah pintu gerbang.
“Ibu yakin kita mau makan
siang di sini?”
“Iya, memangnya ada
masalah, Nak?”
“Tidak, Bu. Hanya saja
saya baru pertama kali datang ke sini.”
“Ibu dan Clara setiap
Jumat siang selalu berkunjung ke sini. Kamu akan tahu alasan Ibu membawamu ke
sini. Ayo, kita masuk ke dalam.”
Di balik pintu gerbang
itu terdengar suara anak-anak kecil. Suara-suara yang terdengar ceria, walau
memendam kisah yang teramat pilu. Suara-suara merdu yang terlahir dari bibir
mungil, meski kehadiran mereka sering dianggap aib terbesar di atas bumi ini. Suara-suara
yang ...
***
Pukul satu siang ketika
keduanya masuk ke dalam tempat itu. Gio terpaku menyaksikkan pemandangan yang
tak pernah ia lihat di bioskop, rental playstasion,
mall atau di mana pun. Para pemilik
suara-suara itu memancarkan keheningan kasih di mata mereka dan kebeningan hati
dalam canda tawa mereka.
Rupanya mereka baru selesai makan siang dan masih ingin bermain di jeda waktu sebelum tidur siang. Ada yang sedang bermain boneka, conglak, dan ular tangga. Ada seorang gadis kecil yang berdiri memandangi sekuntum mawar merah yang merekah indah. Ada seorang siswi berseragam putih abu-abu yang menemaninya.
Rupanya mereka baru selesai makan siang dan masih ingin bermain di jeda waktu sebelum tidur siang. Ada yang sedang bermain boneka, conglak, dan ular tangga. Ada seorang gadis kecil yang berdiri memandangi sekuntum mawar merah yang merekah indah. Ada seorang siswi berseragam putih abu-abu yang menemaninya.
“Gio, tolong bawakan
ini untuk adik Nadia yang sedang bersama Clara di sana. Ibu ingin bertemu
dengan pengasuh panti dulu.”
“Baik, Bu”, jawab Gio
sembari menerima sebungkus biskuit.
***
“Hai, Gio-ku, akhirnya
tiba juga. Perkenalkan adik kecil ini namanya ...
“Nadia, kan. Ini biskuit
untuk Ade.”
“Iya, terima kasih, Kak.
Saya suka sekali biskuit rasa coklat. Kak, tolong buka bungkusannya untuk saya”,
pinta Nadia. Gio tertegun, ia hanya mampu melawan gejolak di balik dadanya
dengan seulas senyum. Ia menyuapkan sepotong biskuit ke dalam mulut Nadia.
“Nanti Kakak akan bawa
selalu biskuit coklat untuk Ade.” Nadia ikut tersenyum, Clara terharu.
“Clara, bolehkah aku
menanyakan sesuatu?”
“Aku tahu apa yang ingin kamu tanyakan, Gio. Mari,
kutunjukkan alasan yang membuatku selalu berkunjung ke sini”, jawab Clara
sambil memetik kuntum mawar itu dan menyerahkannya kepada Gio.
***
Mereka bertiga beranjak ke sebuah taman doa di
belakang panti itu. Sebuah taman kecil yang bersemi hijau dihiasi aneka bunga
warna-warni yang bermekaran seakan menyimpan keindahan Taman Eden.
Di tengah taman itu, berdiri sebuah pohon rimbun
yang menaungi sebuah patung Yesus. Gio menatap patung Yesus yang dipahat tanpa
sepasang lengan, lalu mengalihkan pandangannya pada sepasang tangan Nadia yang
puntung dan cacat sejak kelahirannya.
Ia pun berlutut dan meletakkan setangkai mawar di
hadapan patung Yesus. Ia tertegun. Di bawah kaki patung itu terukir sebaris
kalimat yang menjadi judul cerita ini. Bacalah sekali lagi. Sekali lagi.
(Untuk-Mu yang bersemayam di panti asuhan).
Maumere, Mei 2018
Baca juga:
- Online
Post a Comment for "Kamulah Sepasang Tangan-Ku | Yose Bataona"