Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Eden Di Ende Bernama Ekoa'e


(Pondok di kebun Ekoa'e)

Pada Natal 2021 saya berlibur di Ekoa’e di kampung halamannya Ka Arnol Sawa. Saya kenal dengan Ka Arnol secara kebetulan di jalan Kota Maumere. Waktu itu ia menanyakan rute jalan dan saya yang membantunya. 

Tak terasa sudah tiga tahun berlalu sejak saat itu. Kami tetap saling menjaga komunikasi. Hingga pada libur akhir tahun inilah saya berkesempatan pergi ke rumahnya yang berada di jalur utara Kabupaten Ende.

Ingatan saya tentang Ekoa’e ialah bunyi mesin penggiling padi. “Kalau musim panen kita bisa dengar bunyi dari pagi sampai sore” jelas Ka Arnol.

Ekoa’e merupakan padi di jalur utara. Sejauh mata memandang terhampar luas persawahan. Kalau di baliknya berjejer pegunungan hijau.

Bagi saya Ekoa’e merupakan suatu wilayah yang lengkap dari sisi pangannya. Tak sebatas hasil sawah dan kebun saja. Ekoa’e punya hasil limpah dari laut karena letaknya di jalur pantura. Jadi ada juga ikan laut, pari, kepiting, rumput laut, dan sebagainya di sini.

Kebun di Gunung

Selama berada di kampung ini saya memiliki banyak pengalaman berkesan. Salah satunya ketika pergi ke kebun di atas gunung.

Pagi itu saya ikut Bapa Gil, kakak kedua dari Ka Arnol. Bapa Gil dan istrinya akan pergi ke kebun. Mereka akan membersihkan rumput dengan dibantu oleh para tetangga. 

Kebunnya berada cukup jauh dari rumah. Kami mesti pakai motor baru lanjut dengan jalan kaki lagi.

(Bapa Gil di jalan ke kebun)

Setelah memarkir motor di kaki gunung kami pun mulai mendaki. Oia, Bapa Gil dengan parang di pinggang, saya dengan hape di tangan, hahahae..

Semalam hujan baru turun sehingga jalanan amat becek dan licin. Rerumputan di tengah jalan sudah tumbuh lebat.

Di kiri kanan jalan ada pepohonan mente yang ditanami warga. Ada juga tanaman porang yang tumbuh liar di sepanjang jalan. Katanya umbi porang bisa diolah menjadi beras nasi.                                                                                                      

(Pemandangan dari atas kebun)

Ketika tiba di lokasi kebun rasanya awan berada tepat di atas kepala kami. Udara pun terasa sangat segar di sini. Beruntung bahwa pagi ini tak hujan sehingga tak menghalangi kami bekerja.

Di kebun ini ditanami padi dan jagung. Tak menunggu lama kami pun mulai mencabut rumput-rumput yang tumbuh. Kami membersihkan semuanya agar padi dan jagung dapat bertumbuh dengan baik.

Sayangnya pada pucuk daun-daun jagung banyak yang dimakan ulat. Saya tak sempat bertanya bagaimana para warga di sana mengusir hama tersebut. Saya hanya berharap agar tak mengganggu pertumbuhan jagung.

Sepanjang bekerja ada selipan-selipan cerita lucu dari para warga. Kalau istilah setempat wora. Ada satu mama yang banyak bercerita, keringat yang keluar pun tak terasa karena tawa yang pecah di antara kami. Dan tentunnya juga ada selingan nyanyian dari mama-mama dan bapa-bapa mereka. Suasana pun bertambah semangat. 

(Bersama para warga di kebun)

Saya sungguh menikmati momen ini. Berlibur ke suatu daerah baru dan berinteraksi dengan orang-orang baru pula. 

Saya pun mengitari kebun ini. Tentu dengan langkah yang mesti berhati-hati saking miring kebun di lereng gunung ini.

Saya tertarik dengan sebuah pondok di ujung atas kebun. Saya pun meminta diri untuk pergi ke pondok itu. Awas banyak ular di sini, demikian pesan dari mereka. Dan memang sepanjang jalan mencapai pondok, pada bebatuan di lereng, ada terlihat beberapa kulit ular kering.

Nah, pondok ini jadi tempat favorit saya. Bukan.. bukan karena di tempat ini yang sinyalnya bagus. Tetapi karena bentukan pondoknya yang amat menarik.

Pondok ini dibuat dari batang kayu yang saling bersambung tanpa pakai paku besi. Atapnya dari daun gebang. Asyiknya alas lantainya dibuat dari bilah bambu yang dipotong-potong hingga rata. Saat berbaring di atasnya, aduh dingin enak. Apalagi diterpa udara pegunungan yang sejuk.

Di sekitar pondok tumbuh liar terung hutan. Ini buah terung kalau dimasak sayur pasti enak sekali. Btw, terung itu buah atau sayur yah?

Selepas dari pondok saya pun bergabung kembali bersama para warga. Matahari pun sudah hampir berada di puncak langit.

(Saat beristirahat)

(Segelas kopi Flores)

Tak lama kemudian Mama Gil sudah menyiapkan kudapan bagi kami. Ada kue dan tentunya kopi Flores. 

Di penghujung kerja kami pun duduk beristirahat. Aroma kopi yang khas menambah hangatnya kebersamaan ini.  

Entah kapan lagi saya bisa kembali ke Ekoa’e? Kampung ini amat berkesan di hati. Ekoa’e begitu indah bagaikan Taman Eden. Ya.. Eden kecil di Ende itu bernama Ekoa’e.  

*) Artikel ke-1 pada pekan pertama dari Blogger Traveler Challenge 2023 (@bloggernomad)

Baca juga: 

   



4 comments for "Eden Di Ende Bernama Ekoa'e"

  1. Sudah kubaca semua tulisan di atas. Seru banget ya kak Yose bisa kumpul bareng sambil berkebun seperti itu. Buktinya juga masih asri dan sejuk pastinya. Penat hilang pastinya. Wah, saya juga suka berkebun lho. Di sekitar rumah juga banyak ditanami buah2an tabulampot. Yang saya sayangi itu pohon jeruk dekapon. Buahnya Unik...

    ReplyDelete
  2. Wah, salam Mas Wahid. Terima kasih karena sudah baca. Asyik ew kalau suka berkebun juga. Saya baru pertama dengar nama buah tabulampot, sebentar langsung cari di Youtube, heheh..

    ReplyDelete