Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerita Perjalanan ke Murusobe Air Terjun Kembar

Air Terjun Murusobe Maumere
Air terjun kembar Murusobe

Maumere tidak hanya terkenal dengan barisan pantainya. Namun, kabupaten ini memiliki air terjun yang menjuntai indah. Satu di antaranya adalah Air Terjun Murusobe.

Air terjun kembar ini pertama kali saya tahu dari unggahan blog Ka Valentino Luis. Tulisan yang saya baca sekitar tahun 2019. Baru pada 2022 saya berkesempatan mengalami langsung perjalanan ke Murusobe.

Kalau dari Maumere ke Murusobe, perjalanannya amat jauh. Tapi, karena berangkat dari Wolofeo sehingga perjalanan ini terasa lebih cepat.  

Sebenarnya saya berencana menulis cerita ini pada Sabtu kemarin, tapi karena satu dan dua hal maka tertunda di hari Minggu. Tulisan ini pun dalam rangka mengingat kembali memori liburan di Wolofeo, kampungnya Ajoks. Btw, kami membawa pulang ole-ole dari Pamannya Ajoks, satu dus besar berisi sayur-mayur, inilah rezeki anak kos, hehe..

Air Terjun Murusobe Maumere
Masih di Wolofeo menuju Murusobe

Kami pergi ketika jam anak-anak pulang dari sekolah. Mereka berseragam merah putih beriringan dengan teman-teman sebaya. Anak-anak itu menyapa kami setiap kali berpapasan. 

Sementara itu, motor kami menyusuri jalanan yang diapiti persawahan hijau. Pemandangan ini seperti lukisan di buku gambar semasa SD dulu. Ada jalan dan petak-petak sawah. Pegunungan menambah komposisi lukisan alam ini. 


Air Terjun Murusobe Maumere
Menjemur kakao di tepi jalan

Tak hanya terpukau dengan hamparan persawahan, di sepanjang jalan mata saya terhipnotis dengan biji-biji kakao yang dijemur dekat rumah warga. Aromanya itu sangat khas sekali. Langit yang cerah berawan saat ini cukup mendukung untuk proses penjemuran tersebut. Btw, apakah Silverqueen membeli bahan baku coklat dari para petani di wilayah ini?

Sekalipun berangkat dari Wolofeo perjalanan kami tidak mudah. Saya lupa persisnya, tetapi kami mesti melewati sejumlah kampung besar. Mulai dari jalan yang baik sampai yang tidak ada jalan. 

Kami juga sempat nyasar ketika melewati pasar, karena hari itu adalah hari pasar di kecamatan. Memang Ajoks pernah sekali ke air terjun itu. Namun, ia sendiri sudah lupa-lupa ingat. Kami nyaris sampai ke Ende, kabupaten sebelah, akibat dari nyasar ini. Beruntung berjumpa warga lokal yang baik hati menunjukkan arah jalan yang benar. Sekiranya hampir satu jam lebih kami mencapai air terjun itu.

Apalagi saat hendak memasuki area air terjun, di depan jembatan merah ban motornya Ajoks pecah. Kami dua silih berganti mendorong motor kembali ke kampung terdekat untuk menambal ban. Sayangnya nasib naas ini tak sempat saya foto. Om Bengkel yang membantu kami juga sangat baik. Kami dihidangkan segelas kopi asli dari kampung itu. 

Jembatan Merah Murusobe 
Air Terjun Murusobe Maumere
Jembatan merah Murusobe
Bagi saya Jembatan Merah Murusobe ini adalah salah satu spot foto terbaik. Sebuah jembatan panjang yang menjadi penghubung utama menuju ke kawasan air terjun.

Saya tidak tahu jembatan ini jenis apa? Atau biasanya disebut apa? Tapi yang menarik ialah tali-talinya serupa pagar pembatas jembatan. Terus papan-papan kayu yang dijadikan sebagai pijakan. Kalau datang berkunjung ke sini wajib berfoto di spot jembatan. 

Air Terjun Murusobe Maumere
Opa Tua penjaga air terjun
Setelah melewati jembatan merah kami pun langsung ke tempat yang menjadi pintu masuk. Ada seorang opa tua yang menjaga tempat itu. Kata beliau keluarganya yang memiliki area tersebut, sehingga mereka yang menjaga air terjun ini.

Saya sempat bertanya tentang arti nama dari Murusobe. Opa Tua menjelaskannya dengan baik. Nama Murusobe sendiri merupakan bahasa lokal setempat. Ia menggambarkan Murusobe itu seperti bilah bambu yang dipotong setengah. Sialnya, saya sudah lupa detail penjelasan tersebut. Betapa rugi tidak mencatat langsung pada saat itu.

Si Opa Tua memberikan kami satu sisir pisang. Wah, dapat gratis nih, hehe. 

Air Terjun Murusobe Maumere
Titian jalan bambu ke air terjun

Kami pun langsung jalan kaki ke titik air terjun. Mungkin sekitar tiga puluh menit perjalanan dari pintu masuk. Tidak ada jalan setapak. Jadi mesti melewati batu-batu di sungai. Bersyukur bukan hari hujan, tentu akan sulit untuk melewati medan ini.

Saya paling suka saat memotret Ajoks kala ia melintasi titian jalan bambu di atas. Kata Ajoks dulu belum ada bambu tersebut. Sehingga mesti berpijak pada dinding tanah itu atau langsung menyebur ke air. Pastinya harus basah, padahal belum sampai di air terjun. 

Di ujung bambu itu ada sebongkah batu besar. Betapa terkejutnya kami di balik batu itu ada bangkai ular. Ular itu cukup besar dan panjang. Mungkin dia bisa makan tiga ekor anak ayam sekali pagut.

Aku sampai mual rasanya saat mencium aroma ular yang sudah mati itu. Langsung bergidik rasanya di tempat yang baru melihat pemandangan ini. 

Kami terus berlangkah. Karena tak jauh lagi sudah terdengar gemuruh air terjun di depan sana. 

Air Terjun Murusobe Maumere
Ajoks di depan air terjun

Air Terjun Murusobe Maumere

Air Terjun Murusobe Maumere
Akhirnya tiba di Murusobe
Waktu tiba di air terjun tak ada serorang pun. Hanya kami dua saja. Mungkin kalau pas akhir pekan baru agak ramai.

Saya perkirakan tinggi air terjun ini mencapai seratus meter. Tentu seru rasanya kalau bisa mandi di bawah air terjun. Namun kami takut kalau hujan tiba-tiba turun. Apalagi angin bertiup sangat keras membawa hawa yang sangat dingin.

Baiknya datang ke Murusobe bukan di musim hujan. Karena airnya agak keruh. Kadang kalau hujan besar, arus sungai di sini cukup deras.

Kamera handpshone saya tak mampu menangkap gambar dengan baik di sekitar air terjun. Mungkin karena silau atau embun uap air.

Tapi setidaknya sudah bisa mengabadikan momen di air terjun kembar Murusobe. Setelah ini momen perjalanan ke mana lagi yang mesti diabadikan? 






 

Post a Comment for "Cerita Perjalanan ke Murusobe Air Terjun Kembar "