Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kelana ke Wolofeo: Kampung Bukit Kemiri di Batas Sikka

"Bagaimana cara kita bisa jalan-jalan dengan gratis ke mana saja?", tanya saya pada Om Google. Salah satu jawabannya ialah berlibur ke kampung halaman teman.

Maka pada April tahun lalu, saat liburan Paskah, saya pun berlibur ke kampungnya teman di Wolofeo. Demi membuktikan saran dari Google, haha…

Teman saya yang baik hati ini bernama Melky Eku. Dia teman kos di Maumere.

Rumahnya di Ngada karena ayahnya dari sana. Tapi ibunya asli Wolofeo, sebuah kampung di perbatasan Kabupaten Sikka dan Kabupaten Ende. 

"Wolofeo artinya Bukit Kemiri" jelas Ajoks, panggilan akrabnya.  

Saya dan Ajoks pun bertolak dari kos sekitar jam 11 siang. Perjalanan ke Wolofeo cukup jauh. Kalau dari Maumere sekitar 50 km.

Di tengah jalan kami singgah di Pasar Lekebai. Karena hari Sabtu adalah hari Pasar Lekebai. Sayangnya saat tiba pasar hampir bubar karena sudah tengah hari. Kami pun makan siang di warung pinggir jalan. 

Setelah melewati Jembatan Kaliwajo, ada sebuah belokan kanan ke arah Wolofeo. Hampir satu jam lagi untuk tiba di kampungnya Ajoks, karena jalan rusak dan ada yang menjadi "kali dadakan" kala musim hujan. 

***

Gereja St. Maria dari Gunung Karmel Wolofeo

Singkat cerita kami telah tiba di Wolofeo. Secara administratif Wolofeo termasuk wilayah Kabupaten Sikka. Tapi secara kultur-budaya Wolofeo masih bagian dari Suku Lio. Wah, wilayah Suku Lio amat luas tak hanya di Ende tapi sampai Sikka juga. 

Seperti arti namanya, di kampung ini banyak pohon kemiri di mana-mana.  Bahkan di jalan masuk ke perumahan warga, ada satu pohon kemiri yang baru tumbang saking besarnya. 

Di Wolofeo kami menginap di rumah Om Satu, pamannya Ajoks. Di kampung yang bernama Pu'u Pau, yang dalam bahasa Lio berarti Pohon Mangga. Katanya dulu ada pohon mangga besar di tengah kampung.

Saya paling suka saat pagi atau sore hari di sini. Pada momen ini awan akan menyelimuti perkampungan. Terkadang awan itu seperti lekat di atas kepala saja. 

Memotret awan dari halaman belakang rumah

Karena letaknya di ketinggian, rumah para warga di bangun per satu area. Jadi, bila ada area yang agak datar di situ ada perkampungan warga tapi tidak terlalu luas. Tepi kampung dibatasi lereng atau jurang. Cukup ekstrim. 

Di kampung ini jaringan dan listrik sudah masuk. Kartu nomor saya yang AS juga aman saja, tapi XL milik Ajoks tidak selamat sama sekali. Btw, di Pu'u Pau baru dibangun satu tower besar yang berkaki empat. Sewaktu tower diresmikan ada pesta syukuran dan potong satu ekor babi. 

Mandi Air Mancur Bambu di Ae Petu

Momen lain yang berkesan adalah ketika mandi di kali Ae Petu, yang artinya Air Dingin.

Setiap pagi dan sore kami akan berjalan kaki ke Ae Petu. Sumber mata airnya dari gunung di atas. Tempat ini juga sering berkabut kala pagi hari.

Para warga membuat pancuran air dari bilah bambu. Ada dua titik pancuran air. 

Yang pertama dekat jalan. Yang kedua agak ke dalam lagi, tidak ada tangga sehingga harus hati-hati berpijak karena medannya yang curam dan licin. 

Ajoks di Ae Petu

Betapa segar mandi di Ae Petu

Betapa tidak asyik mandi di sini, sensasi air yang dingin sangat  menggetarkan sekaligus menyegarkan badan. Air yang mancur dari bambu itu cukup deras. Saat jatuh di punggung rasannya seperti dipukul keras. 

Tanaman di sekeliling Ae Petu pun sangat subur dan hijau. Daun pakis rumput, tanaman khas di sekitar air terjun, tumbuh dengan liar. Tentu saja saya memotret daun-daun pakis yang eksotis ini. Saking sukanya saya jadikan wallpaper hp sampai sekarang. 

Daun pakis rumput

Jadi wallpaper hp saya

Hari-hari di Wolofeo sering turun hujan. Pada hari terakhir, hari keempat langit cerah. Sebelum pulang saya melihat para warga menjemur biji kakao di halaman rumah. Kakao bahan dasar coklat adalah salah satu komoditi khas dari Wolofeo. 

Begitu banyak hasil kebun lainnya yang potensial. Pastinya butuh dukungan banyak pihak untuk pengembangannya ke depan. 

Menjemur kakao

Tak terasa waktu untuk berpamitan pun tiba. Walau hanya beberapa hari, begitu banyak cerita yang terukir. Entah kapan lagi bisa kembali ke Wolofeo? 

Sebelum pulang kembali ke Maumere, saya dan Ajoks pergi ke Air Terjun Murusobe. Air terjun kembar yang aduh gagah sekali dengan medan jalan yang begitu aduh sedih ngeri. 

Kisah tentang Murusobe akan ada di artikel selanjutnya. Tunggu yah di hari Sabtu nanti, Kawan. 

Lanskap dalam perjalanan ke Murusobe


 

5 comments for "Kelana ke Wolofeo: Kampung Bukit Kemiri di Batas Sikka"

  1. Hahaha betul sekali saran om Google 😂😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha, saran yang berguna untuk kami para pemula.

      Delete
  2. Iya e. Jalan yang begitu aduh sedih ngeri ee. 😂
    Ja'o tunggu tayangan hari Sabtu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha, thanks eja. Kami juga menanti cerita dari Jerman.

      Delete
  3. Mantap bro, kalau ada waktu kesini lagi dengan Melki, kita eksplor gunung tananuwa, pemandangan alamnya luar biasa.

    ReplyDelete