Online
(Ilustrator: @vinsafitrii) |
Siang malam kuselalu menatap layar
terpaku untuk online-online.
Jari dan keyboard beradu pasang
earphone dengar lagu aku online-online
Reff lagu di atas adalah sebuah
ramalan. Tentu bukan dari Dilan untuk Milea, melainkan ramalan dari Saykoji
untuk Indonesia.
Melalui karyanya Online (2008), ia meramalkan masyarakat
Indonesia yang bakal ketagihan pada candu bernama, internet. Kini, ramalan
tersebut menjelma kenyataan penuh persoalan yang tak terelakkan lagi dalam
hidup kita.
Namun, lagunya Online tak hanya ramalan semata, tetapi juga suatu ekspresi kritik
sosial.
Simak saja sepenggal liriknya: Tidur telat bangun pagi-pagi/ nyalain komputer online lagi/ bukan mau ngetik kerjaan email tugas diserahkan/ tapi malah buka Facebook padahal face masih ngantuk.
Aih, suatu kritik menukik, yang
diuntai apik nan cantik.
Walau terbentang jarak waktu yang
jauh dari 2008 hingga 2019, Online karya
Igor Saykoji tetap menjadi kritik yang aktual.
Sebab pada masa kini manusia Indonesia
kian tenggelam dalam dunia online. Kita
kadangkala tak berlaku bijak, dan mudah terlena dengan segala hal dalam
internet.
Bukankah internet kerap menjadi
lautan kelam tempat bermuaranya hoaks, fake
news dan dis-informasi? Sehingga setiap orang yang tercebur di dalamnya
sulit untuk keluar dari arus deras lautan maya ini.
Sesungguhnya akan sangat naif bila
kita hanya mengkambinghitamkan internet. Seolah-olah internet yang menaungi Facebook, Instagram, WhatsApp dan kroni
lainnya adalah teroris virtual yang gencar menghancurleburkan kita. Justru kita
manusia yang tak manusiawi inilah yang patut bertanggung jawab atas bom chaos yang kerap meledak dalam jagad online tersebut.
Daripada menuding internet sebagai “buah
terlarang” era modern, sebaiknya kita berintrospeksi sejenak.
Sejauh manakah kita menyadari diri
sebagai subyek berintegritas dalam penggunaan internet?
Sudahkah kita seturut gagasan F.
Budi Hardiman tampil sebagai homo
digitalis sejati pada semesta daring ini?
Kedua pertanyaan reflektif tersebut
menghantar kita pada jawaban alternatif, literasi digital. Benedictus Juliawan,
SJ (2018) mengatakan bahwa literasi digital merupakan kemampuan memilah,
menakar dan menggunakan informasi yang berseliweran di media digital.
Dengan kemampuan ini kita dibentuk
untuk semakin bijak, kritis dan cerdas dalam pemakaian media sosial. Oleh karenanya,
literasi digital perlu senantiasa digemakan di penjuru Nusantara, mulai dari
Nusa Cendana, tanah kita sendiri.
Selain itu, literasi digital yang
ideal mampu menunjang kecakapan seseorang dalam mengeksplorasi segala potensi
pada jejaring online. Kita mesti
belajar dari Audrey Salean remaja Kota Kupang pencipta aplikasi BetaJual. Buah kreativitasnya
ini telah memudahkan pemasaran produk UKM lokal kepada masyarakat luas.
Adapun
Dicky Senda penggagas komunitas Lakoat Kujawa di Kapan, TTS yang terampil
memanfaatkan teknologi digital dalam pelestarian kearifan lokal di Mollo Utara.
Upayanya juga bersumbangsi dalam mengedukasi para remaja setempat untuk sadar
dan melek literasi digital.
Kedua tokoh milenial ini telah
memberikan keteladanan dalam pengembangan habitus literasi digital. Teladan ini
memotivasi kita untuk turut terlibat menggalakan literasi digital teristimewa
pada Era Revolusi 4.0 di tanah air kita.
Akhirnya, jika Paus Fransiskus
mengungkapkan bahwa internet dan media sosial sebagai hadiah dari Tuhan, maka perwujudan
literasi digital merupakan tanggapan terbaik atas karunia-Nya tersebut.
Namun, sudahkah kita terlibat aktif
menyebarluaskan spirit ini? Ataukah kita masih terlelap panjang pada ranjang online? (Putra Lomblen).
*) Tulisan ini pernah dimuat pada kolom Box dalam Majalah Cendana No. 18 Edisi Juni 2019.
Baca juga:
keren kak semangat
ReplyDeleteTerima kasih Selvi.
ReplyDelete