Sastra Hijau: Panggung untuk Meraung
Air adalah darah,
hutan adalah rambut,
tanah adalah daging,
batu adalah tulang.
Apa yang tercetak dalam benakmu ketika mendengar Fatumnasi? Apakah sebentang alam yang ditumbuhi rimbun puisi dan ribuan imajinasi?
Belakangan ini Fatumnasi amat populer sebagai destinasi wisata di Timor.
Valentino Luis, travel journalist, melukiskannnya serupa taman perdana umat manusia, taman Eden.
(Cinta dan Maut di Fatumnasi) |
Bayangkan dalam imajimu
panorama alam serupa negeri dongeng. Barisan bukit dan lereng ditumbuhi pinus
dan ampupu yang berjejer rapi. Hamparan rumput bak permadani hijau, tempat sapi
dan kuda bermain leluasa.
Bagi kawula muda alam
Fatumnasi amat instagramable. Lanskap
yang terbentang ini menciptakan sejuta fantasi di bumi Fatumnasi. Namun, di
balik alamnya yang eksotis tersimpan barisan sejarah traumatis. Sebuah memori
kelam bernama pertambangan.
(Kala membaca dalam rahim sunyi Fatumnasi) |
Ketika menyambanginya
bersama Yendo teman sepantaran, pertengahan 2019, mata saya tertumbuk pada deretan bukit yang
dikeruk dan sejumlah gunung yang digerus. Rupanya sisa-sisa pertambangan marmer
masih terpampang jelas dalam kawasan Fatumnasi.
Saya menapaki salah
satu bukit yang telah dipotong, persis seperti nasi tumpeng diiris setengah.
Dari atas bukit bernama Tunua itu, saya melihat kubus-kubus marmer jumbo yang
berserakan, mungkin luput diangkut setelah perlawanan warga lokal berhasil
mengusir para penambang.
(Yendo di hadapan Bukit Tunua) |
Kisah perlawanan ini tak lepas dari sosok heroik, Aleta Baun. Ia bergerilya bersama warga setempat menghadang aksi pertambangan di bumi Mollo, Timor Tengah Selatan.
Model perjuangan ini,
menurut Benediktus Dalupe, merupakan perpaduan aksi penyelamatan lingkungan dan
gerakan perempuan (ekofeminisme) yang berlandaskan pada spirit kearifan lokal
Timor. Perjuangan rangkap ini telah membebaskan alam dan perempuan dari tekanan
perusahaan tambang.
Oel
nam nes on na, nasi nam nes on nak nafu, naijan nam nes on sisi, fatu nam nes
on nuif. (Air adalah darah, hutan adalah rambut, tanah adalah
daging, batu adalah tulang).
Petuah adat ini yang
menjadi pegangan Aleta Baun dalam gerakan perjuangan dan pelestarian alam.
Spirit kearifan lokal ini menjiwai segenap warga untuk bekerja sama membendung
serangan perusahaan tambang. Sesungguhnya spirit kearifan lokal ini menjadi
identitas masyarakat yang khas dan kaya.
Perjuangan rangkap
berlandaskas kearifan lokal ini dapat menjadi model pergerakan di daerah lain.
Bahwasanya spirit tradisi lokal akam membuat upaya perlawanan tersebut lebih
sesuai dan tepat sasar (kontekstual). Sebagaimana tampil dalam budaya Timor
yang menggambarkan alam serupa tubuh manusia, sehingga dengan identifikasi diri
tersebut membuat perlawanan lebih “berjiwa dan bernapas.”
(Dari atas bukit Tunua) |
Kanuku
Leon dan Geliat Sastra Hijau
Narasi perjuangan di
atas mesti terus digaungkan demi menginspirasi pergerakan di wilayah lain.
Alasannya, krisis ekologi yang diakibatkan oleh keserakahan manusia masih
sering dan terus terjadi, teristimewa di tanah air.
Salah satu upaya
membumikan narasi perjuangan ekologis terbaca dalam cerpen Kanuku Leon karya Dicky Senda. Sastrawan NTT yang berasal dari
Mollo ini telah merangkai kembali kisah perjuangan Aleta Baun melalui
tokoh utama Ma’ Leta dalam cerpennya.
Sepenggal dialog tokoh utama ini menegaskan perjuangan yang sejati tidak akan
pernah berhenti.
“Belasan
tahun beta berjuang, dengan air mata dan darah. Dilempari batu, kaki dibacok,
dipukuli di pengadilan dan terpaksa mengungsi, apakah beta menyerah? Sonde akan
menyerah!”
Melalui Kanuku Leon, Dicky Senda bertutur bahwa
perjuangan yang ideal ialah yang mampu berkolaborasi lintas generasi.
Sebagaimana ditampilkan tokoh kaum muda, Kanala, Kinali dan Gabriel. Mereka
berikrar menjadi penerus perjuangan Ma’ Leta. Ketiganya telah bertransformasi
menjadi angkatan muda Mollo yang peduli pada keadilan ekologis dan kesetaraan
gender. Hal ini menandaskan peranan kaum muda yang amat penting pada masa kini
(hic et nunc).
Cerpen ini menjadi bukti nyata bahwa karya sastra turut terlibat dalam menyebarluaskan narasi ekologis. Karya sastra yang mengusung tema dan isu lingkungan ini digolongkan aliran sastra hijau.
Selain Dicky Senda, terdapat pula sastrawan kondang tanah air yang menerbitkan karya sastra hijau, seperti: Korrie Layun Rampan (novel, Api Awan Asap), Ahmad Tohari (cerpen, Senyum Karyamin), Dorothea Rosa Herliany (roman, Isinga), Dewi Lestari (novel Partikel dan Aroma Karsa) dan Ayu Utami (novel, Bilangan Fu).
Kehadiran produk sastra
hijau amat diperlukan dewasa ini, sebab sastra hijau turut serta menyuarakan
pesan sosial-ekologis. Setiap produk aliran ini menampilkan krisis ekologis
yang mungkin tak disorot di panggung lain.
Bagaikan jembatan, sastra hijau menjadi penghubung antara penulis dan pembaca, demi membangun dialog yang lebih intens. Dialog ini akan menghindarkan bahaya laten cerita tunggal, agar setiap isu sosial-ekologis mampu dilihat dari “kacamata” bersama.
Inilah saatnya kita
berkiblat ke sastra hijau. Para penulis dipanggil untuk menjaga kokohnya
jembatan sastra hijau. Upaya memproduksi sastra hijau yang berorientasi kearifan
lokal patut menjadi orientasi sastrawan tanah air. Demikian pun para pembaca,
mesti mengonsumsi bacaan sastra hijau agar disadarkan dan diperkaya oleh literasi
ekologis. Hanya dengan upaya bersama (kolaborasi) setiap insan maka terciptalah
jalan menuju kebaikan bersama (bonum
commune).
Spirit sastra hijau
mesti selalu diagungkan di bumi nusantara. Supaya narasi sosial-ekologis
menjadi bahan pergumulan bersama. Dengan spirit ini Fatumnasi dan pelosok lain
yang bernasib tragis mendapat panggung untuk meraung.
*) Esai ini merupakan tugas akhir dari
Sekolah Literasi Ekofeminis-Ruang Baca Puan.
Referensi
Dalupe, Benediktus.
Dari Hutan ke Politik Studi terhadapa Ekofeminsme Aleta Baun di Mollo NTT. Jurnal Polinter. Vol 5 (2). 31.
Senda,
Dicky. Kanuku Leon. Jakarta:
Grasindo, 2018.
Karya terbaik..luv❤
ReplyDeleteTerima kasih adeku.
DeleteWow tulisan yang sangat menarik dari orang yang asyik
ReplyDeleteDitambah dgn gambar2 yg super keren dan kaya makna,,sukses selalu tata
Hahaha, trima kasih sudah baca, ina.
DeleteMantap Unu Yos, semangat terus semoga ke depannya melahirkan karya-karya yang besar dan semoga sukses skripsinya.
ReplyDeleteTerima kasih banyak juga unu.
Delete