Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Membumikan Spirit Ekofeminisme demi Keadilan Ekologis di NTT

(Ilustrasi oleh Larasati @capunkgudick)
Paus Fransiskus (2015: 72) menyatakan, lingkungan hidup merupakan harta bersama, warisan seluruh umat manusia, dan tanggung jawab semua orang. Seturut pernyataan ini lingkungan hidup digambarkan sebagai harta milik semua orang. Setiap manusia dipanggil untuk bertanggung jawab menjaga harta bersama ini agar tercipta lingkungan hidup yang sehat dan lestari, sehingga terus diwariskan bagi generasi selanjutnya. 

Setiap tanggal 5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup (HLH) Sedunia atau World Environment Day. HLH Sedunia sepatutnya menjadi alarm pengingat bagi umat manusia atas tanggung jawabnya menjaga lingkungan hidup yang merupakan harta nan berharga.

Namun, realita menunjukkan fenomena yang kontradiktif. Bukannya dijaga secara bertanggung jawab, alam justru sering dieksploitasi. Pada skala global seturut laporan Living Planet Report 2020 yang dipublikasikan WWF dan Zoological Society of London, populasi mamalia, burung, amfibi, reptil, dan ikan di seluruh dunia terus menurun sebanyak 68 persen selama 1970-2006. Kehilangan populasi ataupun spesies ini berasal dari deforestasi, pola pertanian yang tidak ramah lingkungan, dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar ilegal (Kompas, 15 September 2020).

Pada tingkat nasional, Forest Watch Indonesia memaparkan dalam periode 2013-2017, hutan di Indonesia mengalami deforestasi sekitar 5,7 juta hektare atau sekitar 1,46 juta hektare per tahun (Yulianta, 2020: 7). Data faktual ini memaparkan krisis ekologi menjadi suatu permasalahan yang aktual.

A. Sonny Keraf (2010: 2-3) mengungkapkan, krisis ekologi global dewasa ini bersumber dari kesalahan fundamental-filosofis dalam cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat alam semesta dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sedangkan semesta alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan manusia.

Bertolak dari argumen di atas, krisis ekologi dilatarbelakangi oleh cara pandang antroposentrisme. Paham ini telah membuat manusia memandang dirinya lebih tinggi, sedangkan alam dianggap sebagai objek semata sehingga bebas dieksploitasi demi mencapai profit yang besar. 

Kondisi ini bila terus dibiarkan akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang berkepanjangan. Oleh karena itu, dibutuhkan terobosan nyata dalam mendekonstruksi paham antroposentrisme yang selama ini telah melanggengkan segala aksi eksploitasi alam lingkungan.

Ekofeminisme: Spirit Pembelaan Rangkap

Suatu terobosan alternatif yang dapat diupayakan ialah dengan mewujudkan spirit ekofeminisme. Ekofeminisme merupakan suatu falsafah sekaligus gerakan dalam memperjuangkan keutuhan ekologi dan kesetaraan gender. Hal ini sesuai dengan tujuan ekofeminisme yaitu untuk menumbuhkan kesadaran akan kelestarian bumi serta menjaga kesetaraan gender sebagai esensi hak asasi manusia (Ola, Setyonugroho, dan Lakmawan: 2018, 88).

Istilah ekofeminisme diperkenalkan oleh feminis Perancis, Francoise d’Eaubonne pada 1974, melalui bukunya yang berjudul Le Feminisme ou la Mort (“Feminisme atau Kematian”). Dalam buku ini diungkapkan adanya hubungan langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam, karena itu pembebasan salah satu dari keduanya tidak dapat terjadi secara terpisah dari yang lain (Tong: 2008, 366).

Para ekofeminis mengungkapkan adanya hubungan yang erat antara alam lingkungan dan perempuan. Pada hakikatnya lingkungan dan kaum perempuan memiliki suatu keterjalinan relasional. Bila terjadi kerusakan pada alam lingkungan akan berdampak pula pada kaum perempuan.

Keterjalinan relasional tersebut diafirmasi Susilo dan Kodir (2016: 326), bahwasanya perempuan adalah “tangan pertama” (first hand) yang bersentuhan dengan sumber daya alam, karena itulah perempuan menjadi kelompok yang lebih rentan terhadap risiko dan dampak kerusakan lingkungan hidup.  

Sebagai “tangan pertama” yang bersentuhan langsung dengan alam, terjadinya kerusakan lingkungan membawa dampak nyata dalam keseharian kaum perempuan. Contohnya di mayoritas negara berkembang, perempuan memiliki peran besar di ranah domestik. Terjadinya penggundulan hutan akan menimbulkan kelangkaan air dan kayu bakar, akibatnya perempuan terhambat dalam memasak panganan ataupun menjalankan tugas domestik lainnya.

Di dalam keterjalinan relasional terungkap pula akar ketidakadilan yang menimpa alam dan perempuan. Jika kerusakan lingkungan bersumber dari cara pandang antroposentrisme, ketidakadilan pada kaum perempuan berakar dari paham androsentrisme. Androsentrisme adalah suatu aliran yang menjadikan laki-laki sebagai pusat dari kehidupan. 

Realitanya, paham andosentrisme membuat status laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Jadi, terdapat kesamaan pola ketidakadilan yang dialami alam dan perempuan, keduanya sama-sama ditindas dan ditempatkan pada posisi subordinat.

Dilatari oleh faktor keterjalinan relasional ini, ekofeminisme hadir sebagai suatu upaya pembelaan rangkap. Di satu sisi membela alam dari aksi eksploitasi, di lain sisi membela perempuan dari tindakan diskriminasi. Seperti ditegaskan Greta Gaard bahwa “tidak akan ada usaha yang berhasil untuk membebaskan perempuan tanpa juga membebaskan alam” (Ponda: 2021, 61).

Ekofeminisme sebagai suatu spirit perjuangan rangkap telah membuka ruang bagi perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya. Perempuan berhak penuh menerapkan kemampuannya. Peran perempuan tidak sebatas ranah domestik, tetapi juga mampu berkarya di ranah publik. Dalam perspektif ekofeminisme, perempuan memiliki potensi sebagai pemimpin dalam memperjuangkan keutuhan alam serentak memperjuangkan kesetaraan gender.

Model perjuangan ekofeminisme dapat dicontohkan dari gerakan Chipko di India. Pada tahun 1974, dua puluh tujuh perempuan di kota Reni, bagian utara India, bersepakat untuk menghentikan penebangan hutan. Mereka memeluk erat-erat pohon-pohon yang akan ditebang oleh mesin pemotong kayu yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Gerakan para perempuan ini disebut sebagai gerakan Chipko yang dalam bahasa Hindi berarti memeluk. Gerakan ini berhasil menyelamatkan sebanyak 12.000 km areal hutan (Wulan, 2007: 125).   

Di Indonesia spirit ekofeminisme menyata dalam sosok Werima Mananta di Sulawesi Selatan. Werima merupakan salah seorang tokoh perempuan yang memperjuangkan tanah Dongi Karonsi’e di Sorowako, yang telah diokupasi perusahaan tambang nikel berskala internasional.

Pada tahun 2000 bersama dengan komunitas masyarakat adat Dongi Karonsi’e, Werima melakukan reclaiming dan membangun ulang kampung Dongi dengan mulai berkebun. Werima tidak pernah gentar, meskipun dalam setiap perjuangannya, harus berhadapan dengan aparat kepolisian yang juga sering kali bersikap represif menghadapi aksi-aksi massa yang melawan PT. Inco Valley (Khalid, 2014: 134).

Perjuangan Aleta Baun di Mollo

Di NTT terdapat juga perjuangan yang bernafaskan spirit ekofeminisme. Perjuangan ini digalakkan Aleta Baun dalam menyelamatkan alam Mollo dari gempuran korporasi tambang marmer.

Daerah pegunungan di Mollo, TTS memiliki 63 buah gunung dan diperkirakan mengandung 3,5 triliun meter kubik marmer. PT Sumber Alam Marmer salah satu perusahan tambang yang beroperasi di Mollo telah melakukan eksplorasi sejak 1999. Tahun 2006 perusahaan tersebut telah menggali gunung hingga 40 meter. Diperkirakan 12 ribu meter kubik batu telah diambil dan 25 ha lahan pertanian telah dicaplok. Dampak ekologisnya, warga sekitar lokasi pertambangan mengalami kekeringan air. Genangan air bekas pencucian batu marmer pun membawa kerusakan bagi tanaman pertanian (Dalupe, 2020: 38-39).

Perjuangan Aleta dimulai pada 1990-an ketika Gunung Batu Anjaf dan Nausus mulai dirambah industri tambang dan industri kehutanan (2020: 39). Ia berinisiatif menghimpun penduduk setempat untuk melakukan gerakan perjuangan secara kolektif.

Gerakan yang dibangun Aleta, dengan ia sebagai perempuan yang memimpin dan mengorganisasi, sesungguhnya di luar pakem orang Timor dengan budaya patriarki yang kuat. Dalam budaya patriarki laki-laki diposisikan sebagai pihak yang cenderung mendominasi, menyubordinasi dan melakukan diskriminasi terhadap perempuan (2020: 41). Akan tetapi, lewat gerakan yang diinisiasi Aleta Baun menjadi bukti bahwa perempuan memiliki potensi dalam kepemimpinan.

Menariknya, sebagaimana dituliskan Dalupe, ketika perempuan Mollo yang dipimpin Aleta bangkit menolak pertambangan, kaum perempuan ini menyadari bahwa mereka memiliki potensi untuk menggerakan orang-orang di Mollo. Kaum pria atau para suami kemudian mendukung langkah para perempuan Mollo ini untuk terus melangsungkan protes. Gerakan ini dibangun dengan strategi dengan tidak menempatkan pria di garis depan protes. Aleta punya alasan soal ini, bahwa aksi protes harus tetap dilakukan secara damai. Dengan menempatkan laki-laki digaris depan maka bentrok fisik dengan pihak korporasi sangat mungkin terjadi (2020: 41).

Perjuangan Aleta ini membutuhkan waktu lama hingga belasan tahun. Dalam perjuangan tersebut ia kerap mengalami kekerasan, seperti dipersekusipreman suruhan pihak korporasi, dipukul sewaktu sidang di pengadilan, dibacok pada kaki, terpaksa mengungsi dari rumah sendiri hingga terancam nyawanya. Sementara itu rekan-rekan seperjuangannya juga diintimidasi dan dipukuli (2020: 40).

Perjuangan panjang tersebut pun pada akhirnya berhasil mengusir korporasi pertambangan dari tanah Mollo. Dalam perjalanan waktu pasca tambang, Aleta bersama masyarakat adat Mollo telah merubah lokasi-lokasi tambang menjadi wisata ekologis yang menjanjikan (2020: 45).

Aleta adalah tanda nyata keterlibatan kaum perempuan dalam menegakkan keadilan sosial ekologis. Ia menjadi model dalam mewujudkan spirit ekofeminisme sebagai pembelaan rangkap terhadap kaum perempuan dan alam lingkungan. Melalui perjuangannya ia mempresentasikan keberpihakkan dan kepekaan perempuan pada isu-isu kemanusiaan dan ekologi di masa kini.

Tiga Pilar Spirit Ekofeminisme

Ekofeminisme memiliki nilai-nilai yang relevan dengan perjuangan keadilan sosial ekologis masa kini. Meski demikian, ekofeminisme sendiri masih tergolong baru di Indonesia. Oleh karena itu, penulis menawarkan tiga aspek dasar dalam membumikan spirit ekofeminisme khususnya di NTT.

Pertama, spirit ekofeminisme berbasis kearifan lokal. Menurut Tri Marhaeni Pudji Astuti (2012: 58), diskursus mengenai lingkungan atau penyelamatan lingkungan selalu terkait dengan kearifan lokal. Hal ini dapat dipahami, karena usaha-usaha penyelamatan lingkungan selalu berkaitan dengan masyarakat adat, penduduk asli, masyarakat lokal. Merekalah yang memiliki cara-cara sesuai dengan adat kebiasaan dan budayanya dalam usaha penyelamatan lingkungan.

Kearifan lokal merupakan identitas asli masyarakat setempat. Dengan berlandaskan pada kearifan lokal, spirit ekofeminisme mampu menyuarakan jati diri masyarakat tersebut. Integrasi antara ekofeminisme dan kearifan lokal akan menciptakan gerakan kolektif yang kontekstual.

Upaya ini telah dicontohkan Aleta Baun dalam perjuangannya. Aleta dengan konsisten dan teguh mengilhami seluruh gerakannya dengan filosofi Timor (baca: Mollo), yang sangat dalam dan menyentuh hati perempuan-perempuan untuk bergerak (Dalupe, 2020: 43). 

Filosofi tersebut salah satunya sebagai berikut: “Oel nam nes on na, nasi nam nes on nak nafu, naijan nam nes on sisi, fatu nam nes on nuif.” Yang berarti air adalah darah, hutan adalah rambut, tanah adalah daging, batu adalah tulang. 

Filosofi adat ini membuat orang-orang Mollo memandang alam serupa tubuh mereka sendiri. Mereka diingatkan untuk merawat alam sebagaimana mencintai tubuh sendiri. Jika alam dieksploitasi, tentunya berakibat buruk pada kehidupan mereka juga. Filosofi ini pun menjadi semboyan mereka dalam berjuang, teristimewa menghalau segala bentuk eksploitasi di tanah Mollo.

Kedua, kolaborasi kelompok akar rumput. Sejatinya kelompok akar rumput adalah gerakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sebagai suatu gerakan kolektif ekofeminisme tidak terlepas dari perjuangan kelompok akar rumput. Gerakan Chipko di India maupun gerakan Aleta Baun dan para warga di Mollo adalah representasi perjuangan akar rumput. Kelompok akar rumput menjadi kekhasan ekofeminisme dalam visi perjuangan sosial ekologis.

Kelompok akar rumput yang terorganisir baik akan mampu berjejaring dengan kelompok akar rumput di wilayah lain. Hal ini menguntungkan karena lewat kerja sama setiap kelompok saling memperkaya dengan pengetahuan dan pengalaman yang beragam. Perjuangan pun semakin efektif dalam menciptakan kebaikan bersama.

Saat ini kaum muda di NTT giat mentransformasikan spirit akar rumput ke dalam beragam komunitas kreatif. Kehadiran banyak komunitas menggambarkan partisipasi aktif kaum muda dalam isu sosial ekologis. Mereka kreatif memanfaatkan media sosial untuk mengampanyekan nilai-nilai ekofeminisme.

Belakangan juga terdapat kolaborasi yang dilakukan lintas komunitas kreatif.  Sebagai contoh koloborasi empat komunitas yang memprakarsai kegiatan “Kampung Katong”. RMI di Bogor, organisasi yang bergerak pada isu pengelolaan SDA dan lingkungan, berkolaborasi dengan tiga komunitas lokal yaitu Kolektif Videoge di Labuan Bajo, Lakoat Kujawas di Mollo, dan Simpasio Institute di Larantuka. Kolaborasi ini diproyeksikan sebagai studi kasus tentang revitalisasi tradisi, perlindungan ekologi, serta pengelolaan sumber daya yang menopang penghidupan berkelanjutan (rmibogor.id, 3 Desember 2021).   

Ketiga, sastra hijau sebagai sarana edukasi. Sastra hijau merupakan karya yang mengusung tema ekologis. Sastra hijau lahir sebagai wujud tanggung jawab para sastrawan untuk ikut serta dalam gerakan merawat bumi, melestarikan alam, dan menjaganya dari ancaman kerusakan (Wiyatmi, Maman Suryaman, dan Swastikasari, 2019: 139). Sastra hijau sebagai tanda keberpihakan sastrawan menarasikan pula tema ekofeminisme.

NTT telah memiliki sastrawan lokal yang mengusung spirit ekofeminisme dalam karyanya. Ia adalah Dicky Senda melalui buku kumpulan cerpen Kanuku Leon yang diterbitkan Grasindo, 2018. Cerpen Kanuku Leon terinspirasi dari kisah nyata perjuangan Aleta Baun. Upaya Dicky Senda ini mesti menjadi inspirasi bagi sastrawan lokal lainnya untuk turut menghasilkan banyak karya sastra hijau bermutu.  Melalui upaya ini, sastra hijau menjadi sarana dalam mengedukasi spirit ekofeminisme, terkhusus bagi kalangan muda agar tercipta menciptakan generasi yang berwawasan ekologis dan feminis.

Kiranya ketiga aspek dasar ini, yakni kearifan lokal, kelompok akar rumput dan sastra hijau menjadi acuan dalam membumikan spirit ekofeminisme. Semoga lewat Momentum HLH Sedunia tahun ini, ketiga aspek ini dijadikan tigar pilar emas yang solid menopang spirit ekofeminisme dalam derap perjuangan menegakan keadilan sosial ekologis di persada NTT.   

*) Tulisan ini meraih juara harapan I dalam lomba menulis opini yang diadakan oleh WALHI NTT dalam rangka peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2022.

Baca juga: 

Gereja Tua Sikka, Paduan Nuansa Eropa dan Flores

Christyn Feltcraft, Mekar Bisnis Bunga Flanel di Kota Karang

Jaya Baru Etnik NTT, Toko Cinderamata Andalan Kota Maumere

Post a Comment for "Membumikan Spirit Ekofeminisme demi Keadilan Ekologis di NTT"