Nyongki Selan, Penjahit Cinta dari Timor
PADA SALAH SATU KIOS di Pasar Oebobo terpampang plang bertuliskan “Penjahit Amor”. Dari kios bercat putih itu samar terdengar suara mesin jahit listrik.
Ada seorang pemuda yang sedang duduk menjahit di bawah sinar lampu neon. Pada lehernya tergantung pita ukur berwarna biru.
“Amor
itu singkatan dari Anak Timor” jawab pemuda itu ketika ditanya arti nama pada
plang tersebut.
Ia
bernama Nyongki Selan (29). Pemuda berkulit sawo matang ini berasal dari Desa
Noenoni, Timor Tengah Selatan.
Nyongki
sudah dua belas tahun mengadu nasib di Kota Karang. Menjadi penjahit adalah
pilihan hidup yang dijalaninya.
Ruang
jahit miliknya berbentuk persegi dengan ukuran 3 x 4 m². Terdapat dua buah
mesin jahit listrik. Pada tembok di sisi kanan mesin jahit tergantung sebuah
penggaris siku berwarna coklat. Tergantung juga tas-tas kantong kain yang
berisi benang, jarum pentul, gunting dan sebagainya.
Di
sisi tembok bagian kiri berdiri sebuah lemari kaca. Di dalamnya tergantung jas,
kemeja, dan pakaian yang sudah dijahit. Agak ke tepi ada sebuah meja kerja
dipenuhi rol-rol benang dan potongan kain perca.
“Dulu
beta sonde tahu jahit sama sekali. Injak mesin saja kaku” katanya
sembari tersenyum dengan gigi bercak merah bekas sirih pinang.
Ia
pun mengenang awal kisah kedatangannya ke Kupang. Pada mulanya ia berniat untuk
lanjut ke jenjang SMA. Tapi di tengah jalan karena terkendala biaya niat
tersebut harus kandas.
Beruntung ia diajak oleh omnya yang satu kampung untuk ikut bekerja. Omnya seorang penjahit andal yang bekerja di salah satu toko jahit ternama di pertokoan Oebobo.
“Om tuh penjahit hebat. Dulu beliau ikut kursus jahit di
Niki-niki bayar pakai sapi” ceritanya sembari tertawa.
Omnya bernama Yosafat Talan amat berperan bagi dirinya. Om Yosafat mengajarkan banyak hal selama Nyongki bekerja di toko tersebut.
“Beta mulai dari bantu
setrika pakaian. Baru setelahnya belajar jahit mulai dari pasang kancing baju”
kenangnya.
Momen
itu menjadi awal kisah ia jatuh cinta pada dunia jahit. Ia pun bertekad untuk
berprofesi sebagai penjahit. Terhitung hingga tahun ini sudah hampir sembilan
tahun menekuni profesi sebagai penjahit.
Ia
biasa menerima orderan jahit dengan harga yang variatif tergantung tingkat
kesulitannya. Kalau jas bisa satu juta ke atas, kalau seragam kantor mulai dari
tiga ratus ribu.
Adapun
pendapatannya dipakai untuk kebutuhan harian keluarga kecilnya, serta dikirim
juga untuk orang tua di kampungnya. Lewat menjahit juga ia bisa membeli motor
sendiri.
Pelanggannya
datang dari banyak latar profesi, ada dosen, pegawai kantor, hingga anak
sekolahan. Bahkan pernah ada Komandan Polisi Militer yang memesan jahitan
padanya. Nyongki mengungkapkan kalau para pelanggannya suka dan puas dengan
hasil jahitannya.
“Beta
juga suka belajar dari tutorial Youtube” ungkapnya. Ia menyadari kalau bekerja
di dunia mode mesti cepat membaca trend yang sedang berkembang di
masyarakat.
“Setiap
bulan saja gaya pakaian sudah beda-beda, jadi kita harus cepat belajar
untuk dapat ilmu baru” tambahnya.
Nyongki
sendiri baru setahun membuka jasa jahit di Pasar Oebobo. Sebelumnya ia lama
bekerja dengan orang dan bekerja sendiri dari rumah.
“Waktu
korona dulu susah betul. Kalau sonde ada orderan beta jadi ojek”
terangnya.
Kini
selepas dari masa pandemi ia didera lagi oleh masa sulit yang baru, naiknya
harga BBM. Situasi ini amat sulit baginya karena sekarang semua barang serba
mahal.
Meski
demikian ia tidak ikut menaikkan tarif jahitannya, karena memikirkan
nasib pelanggan yang pastinya juga susah. “Kalau nanti mahal banyak pelanggan sonde
datang”
Sesekali
orang-orang lewat di lorong depan kiosnya. Mereka menyapa namanya. Ia pun
membalas hangat dengan senyuman.
"Beta
punya mimpi bisa kembangkan toko jahit sendiri". Nyongki juga ingin bisa
berbagi ilmu tentang menjahit bagi anak-anak muda Timor.
Waktu
menunjukkan hampir pukul tujuh malam. Sepasang tangannya masih terus bekerja.
Biasanya pada jam seperti ini ia sudah pulang, tapi malam ini ia masih mau mengerjakan
satu orderan. Sebuah seragam berwarna krem, pesanan seorang satpam dari kantor
pemerintah.
Matanya
memincing saat menatap setiap bagian jahitannya. Keningnya dipenuhi butir-butir
peluh, padahal di belakangnya ada sebuah kipas angin yang terus
berputar.
“Selama
menjahit kita mesti banyak sabar dan teliti” pungkasnya. “Karena setiap orang
bisa menjahit, tapi tanpa mencintai kedua hal ini, dia sonde bisa jadi
penjahit yang baik.”
Seperti
nama Amor yang juga berarti cinta, demikianlah Nyongki telah sungguh melakoni
hidup sebagai penjahit cinta dari Timor.
Baca juga:
Christyn Feltcraft, Mekar Bisnis Bunga Flanel di Kota Karang
Membumikan Spirit Ekofeminisme demi Keadilan Ekologis di NTT
👏
ReplyDeletewaahh, bagus sekali tulisannya.. semangatttt
ReplyDelete