Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerita Kala Berkemah di Pantai Pangabatang

Malam di Pangabatang

Cerita ini masih berkaitan dengan postingan terdahulu kala pendakian Gunung Egon. Walau sudah berlalu satu tahun yang lalu tetap berkesan untuk diceritakan kembali dalam blog pribadi ini. 

Satu minggu sebelum berkemah di hutan Gunung Egon, saya terlebih dahulu berkemah di Pulau Pangabatang. Suatu pengalaman yang tak terperi merasakan dua sensasi tempat yang berbeda, yakni gunung dan pantai.

Saya ke Pulau Pangabatang bersama Komunitas Shoes For Flores (SFF). Kali kedua saya ke pulau berpasir putih ini. 

Tiga tahun sebelumnya saya datang piknik dengan teman-teman IPSAN di Pantai Pangabatang. Sebelumnya tidak terbayangkan kalau ada warga desa yang menghuni pulau ini. Karena waktu itu kami mandi di sisi pantai yang lain, agak jauh dari pemukiman warga. 

Kedatangan komunitas SFF dan sukarelawan adalah untuk merayakan Idul Adha bersama para warga Pulau Pangabatang. Sudah beberapa tahun terakhir SFF merayakan Idul Adha bersama warga. 

Saya beruntung bisa bergabung kali ini. Apalagi kami akan berkemah satu malam. Suatu momen perdana bagi saya bisa berkemah di pesisir suatu pulau nun jauh. 

Kami semua memakai pick up dari Kota Maumere ke Tanjung Darat. Saat memasuki wilayah Tanjung Darat jalannya berubah tanah berbatu penuh debu. Mobil pick up berguncang naik turun seperti irama lagu disco. Oia, kami melintasi sebuah tanah lapang yang luas. Katanya dulu ini jadi lapangan terbang sewaktu masa kolonial dulu. 

Setibanya di tempat perahu motor, kami disambut ramah oleh para warga. Mereka sedang mengikat dua ekor sapi yang akan kami bawa ke pulau seberang. Wah, menarik. Baru kali ini saya naik kapal motor yang memuat sapi. 

Perjalanan menuju Pangabatang

Petang itu cuaca amat bersahabat.  Perahu motor yang kami tumpangi melaju seirama gelombang yang tenang. Perlahan Pulau Flores telah tertinggal di belakang, sementara itu di hadapan kami telah berdiri menyambut si mungil Pulau Pangabatang.

Di bawah kami terhampar lautan biru yang sungguh jernih. Rumput laut dan terumbu karang yang terbenam nampak jelas dipandang mata. Air laut yang segar ini amat menggoda untuk diselami. 

Sekitar hampir satu jam perahu motor pun mendekati bibir pulau. Nampak anak-anak yang sedang bermain di tepian pantai dan batuan karang besar. 

Tak ada dermaga, kami pun mesti melompat turun dari kapal motor. Para bocah mulai datang menyambut kami. Yang lain berlari ke perkampungan untuk memanggil orang dewasa di kampung, agar membantu kami menurunkan sepasang sapi ini. Btw, dua sapi ini jago berenang juga ke tepian, hehe… 

Saat mendekati Pangabatang

Setelah saling sapa dengan warga desa kami pun bersiap untuk membangun tenda. Kami memilih tempat di bawah pohon karena lebih rindang. Selepas itu dr. Nur pun menjelaskan rangkaian kegiatan kami, sorenya belajar, berbagi buku, dan bermain bersama anak-anak. Besoknya baru kami bersama merayakan Idul Adha. 

Di Pangabatang jaringan internet masih tergolong bagus. Siang itu, sambil rebahan di hammock yang diikatkan pada dua batang pohon, saya mengikuti zoom pengumuman hasil lomba menulis dari WALHI NTT.

Tenda kami di pinggir pantai

Selain membawa dua ekor sapi, rombongan kami juga membawa banyak buku bacaan anak. Saat sore semua anak desa berkumpul di dekat tenda. Kami membacakan dongeng dan memainkan games menarik. Saat kuis bagi anak-anak ada yang mendapat hadiah tas. Betapa anak-anak itu sangat senang dengan kehadiran kami. 


Saya juga mendapat satu teman baru dari Pulau Pangabatang. Namanya Sarman. Sejak sore ia datang bergabung ke tenda kami. Malamnya kami sama-sama memasak makan malam, membakar pisang dan ikan. Saya banyak mendengar cerita darinya, sewaktu dulu ia masuk pesantren di luar NTT tapi tidak sampai selesai karena keterbatasan dana. 

Saya sempat berkunjung ke rumahnya Sarman, pada esok siangnya. Rumah warga di sini berbentuk rumah panggung. Rumahnya berdiri di atas tiang-tiang kayu yang tinggi, supaya tidak terendam saat air laut pasang. 

Sarman bercerita tentang banyaknya potensi pariwisata di Pangabatang. Hanya saja semuanya belum dikelola secara maksimal. Warga setempat pun belum mendapat ruang untuk memberdayakan potensi wisata yang ada di sini. 

Kata Sarman, ia suka bergabung kalau ada para turis yang berkemah di pantai ini. Saya rasa karena Sarman orang yang murah senyum dan berperawakan baik, ia gampang bergabung dengan setiap kelompok yang datang. Toh, darinya ada banyak cerita tentang keadaan dan keterbatasan yang terjadi di Pangabatang. 

Pada hari Idul Adha bersama warga kami menyembelih dua ekor sapi dan beberapa ekor kambing. Siangnya kami makan siang bersama. Para warga mengajak kami untuk singgah dari rumah ke rumah. 

Tahun ini begitu banyak jumlah daging yang dipotong. Kami pun juga lanjut mengantarnya ke Kojadoi, pulau seberang. Sebab listrik belum ada di Pangabatang, jadinya para warga tidak bisa menyimpan kelebihan daging dalam lemari pendingin. 

Nanti akan saya kisahkan pada postingan selanjutnya tentang perjalanan ke Kojadoi. Setelah dipikir-pikir banyak tempat bisa saya kunjungi secara tak terduga. Entah akan melipir ke mana dan menulis apa lagi?

Senja di Pangabatang

Post a Comment for "Cerita Kala Berkemah di Pantai Pangabatang"